Nama-Nama Pahlawan dari Pulau Kalimantan :
1.Pangeran Antasari (lahir di Kayu
Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, 1797[2]
atau 1809[3] – meninggal di Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara,
Provinsi Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia meninggal karena penyakit paru-paru
dan cacar di pedalaman sungai Barito, Kalimantan Tengah. Kerangkanya
dipindahkan ke Banjarmasin dan dimakamkan kembali di Taman Makam Perang
Banjar Banjarmasin Utara, Banjarmasin. Perjuangan beliau dilanjutkan
oleh puteranya Sultan Muhammad Seman dan mangkubumi Panembahan Muda
(Pangeran Muhammad Said) serta cucunya Pangeran Perbatasari (Sultan
Muda) dan Ratu Zaleha.
Pada 14 Maret 1862 beliau dinobatkan
sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan
Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa
wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung
Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Silsilah
Semasa muda nama beliau adalah Gusti
Inu Kartapati. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud)
bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aminullah.[4] Ibunya Gusti Hadijah
binti Sultan Sulaiman. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang
bernama Ratu Antasari/Ratu Sultan yang menikah dengan Sultan Muda
Abdurrahman tetapi meninggal lebih dulu sebelum memberi keturunan.
Pangeran Antsari memiliki 3 putera dan 8 puteri. [5]
[sunting] Pangeran Antasari menjadi Pewaris Kerajaan Banjar
Pangeran Antasari tidak hanya dianggap
sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga merupakan pemimpin Suku Ngaju,
Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa
suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai
Barito.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu
belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran
Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat
Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu
pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris
kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin
perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan
sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13
Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
“ Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah! ”
Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para
alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat
Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin",
yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama
tertinggi.[6]
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran
Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang
dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad
melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah
dan rakyat.
[sunting] Perlawanan terhadap Belanda
Lanting Kotamara semacam panser
terapung di sungai Barito dalam pertempuran dengan Kapal Celebes dekat
pulau Kanamit, Barito Utara
Perang Banjar pecah saat Pangeran
Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik
Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi
peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan
Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia,
Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai,
Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke
Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin
sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda,
berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh
bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil
mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat
benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran
Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini
tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave
Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
“ ...dengan tegas kami terangkan kepada
tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang
terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)... ”
Dalam peperangan, belanda pernah
menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh
Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang
selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.
Setelah berjuang di tengah-tengah
rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya
tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu
Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok,
Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau
terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya
pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.
Setelah terkubur selama lebih kurang 91
tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan rakyat Banjar dan
persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan
pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang
tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka
ini dimakamkan kembali Komplek Pemakaman Pahlawan Perang Banjar,
Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.
Pangeran Antasari telah dianugerahi
gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik
Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 23 Maret
1968.[7] Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan
untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih
mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui
Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar
Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000
Hasan Basry
Brigjen Hasan Basry (lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, 17 Juni
1923 – meninggal di Jakarta, 15 Juli 1984 pada umur 61 tahun) adalah
seorang tokoh militer Indonesia. Ia dimakamkan di Simpang Tiga, Liang
Anggang, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dianugerahi gelar Pahlawan
nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 110/TK/2001
tanggal 3 November 2001.[1]
[sunting] Biografi
Hasan Basry menyelesaikan pendidikan di Hollands Inlandsche School (HIS)
yang setingkat sekolah dasar, kemudian ia mengikuti pendidikan berbasis
Islam, mula-mula di Tsanawiyah al-Wathaniah di Kandangan, kemudian di
Kweekschool Islam Pondok Modern di Ponorogo, Jawa Timur.[1]
Setelah prolamasi kemerdekaan, Hasan Basry aktif dalam organisasi pemuda
Kalimantan yang berpusat di Surabaya. Dari sini ia mengawali kariernya
sebagai pejuang. Pada 30 Oktober 1945, Hasan Basry berhasil menyusup
pulang ke Kalimantan Selatan dengan menumpang kapal Bintang Tulen, yang
berangkat lewat pelabuhan Kalimas Surabaya. Sesampainya di Banjarmasin,
Hasan Basry menemui H. Abdurrahman Sidik di Pekapuran, untuk mengirimkan
pamflet dan poster tentang kemerdekaan Indonesia. Selain itu melalui
AA. Hamidhan, juga dikirim pamflet ke Amuntai dengan Ahmad Kaderi,
sedangkan yang ke Kandangan dikirim lewat H. Ismail.
Di Haruyan pada tanggal 5 Mei 1946 para pejuang mendirikan Lasykar
Syaifullah. Program utama organisasi ini adalah latihan keprajuritan,
sebagai pemimpin ditunjuklah Hassan Basry. Pada tanggal 24 September
1946 saat acara pasar malam amal banyak tokoh Lasykar Syaifullah yang
ditangkap dan dipenjarakan Belanda. Karena itu Hassan Basry
mereorganisir anggota yang tersisa dengan membentuk , Benteng
Indonesia.[1]
Pada tanggal 15 Nopember 1946, Letnan Asli Zuchri dan Letnan Muda
M.Mursid anggota ALRI Divisi IV yang berada di Mojokerto, menghubungi
Hassan Basry untuk menyampaikan tugas yaitu mendirikan satu batalyon
ALRI Divisi IV di Kalimantan Selatan. Dengan mengerahkan pasukan Banteng
Indonesia Hassan Basry berhasil membentuk batalyon ALRI tersebut. Ia
menempatkan markasnya di Haruyan. Selanjutnya ia berusaha menggabungkan
semua kekuatan bersenjata di Kalimantan Selatan ke dalam kesatuan yang
baru terbentuk itu.[1]
Perkembangan politik di tingkat pemerintah pusat di Jawa menyebabkan
posisi Hasan Basry dan pasukannya menjadi sulit. Sesuai dengan
Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947), Belanda hanya mengakui kekuasaan
de facto RI atas Jawa, Madura dan Sumatera. Berarti Kalimantan
merupakan wilayah yang ada di bawah kekuasaan Belanda. Akan tetapi,
Hasan Basry tidak terpengaruh oleh perjanjian tersebut. Ia dan
pasukannya tetap melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Sikap yang sama
diperlihatkan pula terhadap Perjanjian Renville (17 Januari 1948). Ia
menolak untuk memindahkan pasukannya ke daerah yang masih dikuasai RI,
yakni ke Jawa.[1]
Perjuangan Hassan Basry di Kalimantan Selatan selalu merepotkan
pertahanan Belanda pada masa itu dengan puncaknya berhasil
memproklamasikan kedudukan Kalimantan sebagai bagian dari Republik
Indonesia yang dikenal dengan Proklamasi 17 Mei 1949.
Pada tanggal 2 September 1949 dilakukan perundingan antara ALRI DIVISI
(A) dengan Belanda, beserta penengah UNCI. Pada kesempatan ini, Jenderal
Mayor Suharjo atas nama pemerintah mengakui keberadaan ALRI DIVISI (A)
sebagai bagian dari Angkatan Perang Indonesia, dengan pemimpin Hassan
Basry dengan pangkat Letnan Kolonel.
Kemudian pada 1 November 1949, ALRI DIVISI (A) dilebur ke dalam TNI
Angkatan Darat Divisi Lambung Mangkurat, dengan panglima Letkol Hassan
Basry. Selesai perang kemerdekaan, beliau melanjutkan pendidikan agamaya
ke Universitas Al Azhar tahun 1951 – 1953. Selanjutnya diteruskan di
American University Cairo tahun 1953 – 1955.
Sekembalinya ke tanah air, pada tahun 1956, Hassan Basry di lantik
sebagai Komandan Resimen Infanteri 21/Komandan Territorial VI Kalsel.
Dan pada tahun 1959, ditunjuk sebagai Panglima Daerah Militer X Lambung
Mangkurat.
Pada saat suasana politik memanas karena kegiatan PKI dan ormasnya,
Hassan Basry mengeluarkan surat pembekuan kegiatan PKI beserta ormasnya
pada tanggal 22 Agustus 1960. Keluarnya surat ini sempat ditegur oleh
Presiden Sukarno, namun Hassan Basry sebagai kepala Penguasa Perang
Daerah Kalsel tidak mentaati teguran presiden. Pembekuan PKI dan
ormasnya diikuti oleh daerah Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan,
peristiwa ini dikenal dengan sebutan Tiga Selatan. Pada tahun 1961 –
1963, menjabat Deputi Wilayah Komando antar Daerah Kalimantan dengan
pangkat Brigadir Jenderal. Pada tanggal 17 Mei 1961, bertepatan
peringatan Proklamasi Kalimantan, sebanyak 11 organisasi politik dan
militer menetapkan Hassan Basry sebagai Bapak Gerilya Kalimantan.
Kesepakatan ini diikuti oleh ketetapan DPRGR Tingkat II Hulu Sungai
Utara pada tanggal 20 Mei 1962, yaitu ketetapan Hassan Basry sebagai
Bapak Gerilya Kalimantan.
Pada 1960 – 1966, Hassan Basry menjadi anggota MPRS. Pada tahun 1970,
beliau diangkat sebagai Ketua Umum Harian Angkatan 45 Kalsel sekaligus
sebagai Dewan Paripurna Angkatan 45 Pusat dan Dewan Paripurna Pusat
Legiun Veteran Republik Indonesia. Pada 1978 – 1982, Hassan Basry
menjadi anggota DPR.
Hassan Basry meninggal pada tanggal 15 Juli 1984 setelah sakit dan
dirawat di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Pemakaman beliau dilaksanakan
secara militer dengan inspektur upacara Mayjen AE. Manihuruk. beliau
dimakamkan di Liang Anggang Banjarbaru Kalimantan Selatan. Atas
jasa-jasanya, beliau dianugerahi sebagai Pahlawan Kemerdekaan oleh
Presiden Republik Indonesia pada tanggal 3 November 2001
Tjilik Riwut: Pahlawan Dayak-Nasional
Seorang yang bangga akan tanah leluhurnya serta selalu menyatakan
dirinya sebagai "orang hutan" karena ia lahir dan tumbuh besar di
belantara hutan Kalimantan. Ia lahir di Katunen, Kasongan, tepatnya
Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Ia adalah seorang yang mencintai
alam dan dan seorang yang mempunyai pendirian yang kuat yang dapat
melihat sekitarnya dengan dasar yang kokoh terutama mengenai budaya
Dayak.
Ketika Ia menginjak usia remaja, ia sering pergi seorang diri menuju
Bukit Batu, untuk bertapa. Pada waktu melakukan pertapaan inilah ia
memperoleh petunjuk pertama kali yang mengarahkannya untuk menyeberangi
lautan menuju ke Pulau Jawa. Pada jaman dulu bisa dibayangkan
keterbatasan sarana transportasi apalagi sarana komunikasinya sangatlah
sulit. Unruk mencapai pulau Jawa ia tak kenal lelah dan putus asa,
halangan serta rintangan dianggapnya sebagai pemacu semangat untuk
mencapai sesuatu yang dicita-citakan. Segala macam cara ia coba untuk
melakukannya baik itu ia harus berjalan kaki menerobos lebatnya
belantara Kalimantan, menyusuri sungai menggunakan perahu maupun rakit,
agar ia dapat mencapai pulau Jawa di seberang laut sana. Akhirnya, ia
pun sampai juga di Banjarmasin, sekarang ibukota Kalimantan Selatan, dan
di sinilah ia mendapatkan pekerjaan yang akan mengantarkannya ke tempat
tujuan, yaitu Pulau Jawa.
Pada awal perjalanan karirnya (1940) di mulai menjadi seorang pemimpin
redaksi majalah Pakat Dayak bersama "Suara Pakat". Koresponden Harian
Pemandangan, pimpinan M. Tambran. Dan juga koresponden Harian
Pembangunan, pimpinan Sanusi Pane, seorang sastrawan Indonesia angkatan
pujangga baru. Ia juga menjadi salah seorang tokoh yang mewakili 142
suku Dayak yang berada di pedalaman Kalimantan (185.000 jiwa) yang
menyatakan diri dan melaksanakan Sumpah Setia dengan upacara adat
leluhur suku Dayak kepada pemerintah Republik Indonesia (17 Desember
1946). Ia adalah putra Dayak yang menjadi seorang anggota KNIP (1946 -
1949). Ia juga berjasa dalam memimpin Operasi penerjunan Pasukan Payung
yang pertama kali dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik indonesia
(17 Oktober 1947), tepatnya di desa Sambi, Pangkalanbun. Dengan pasukan
MN 1001. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Pasukan
Khas TNI-AU.
Dalam suatu kesempatan, ia akhirnya dapat pulang kembali ke tanah
leluhurnya, dan kembali bertapa di Bukit Batu. Pada pertapaannya kali
ini ia memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa untuk perjuangannya melawan
penjajah yang pada saat itu sedang "bertengger" di Indonesia. Dalam
kesempatan itu ia pun bernazar untuk tidak menikah sebelum Indonesia
merdeka. Setelah ia selesai melakukan pertapaanya, ia memperoleh suatu
benda, yaitu sebuah batu yang berbentuk seperti daun telinga. Petunjuk
yang ia peroleh sewaktu bertapa mengatakan bahwa batu yang ia peroleh
itu dapat dipergunakan untuk mendengar dan memantau musuh apabila di
letakkan berdekatan dengan daun telinganya. Namun setelah kemerdekaan
Indonesia, batu itu pun gaib keberadaannya.
Sebagai seorang pejuang yang sangat mencintai kebudayaan leluhurnya, ia
sangat fanatik dengan angka 17, yaitu angka kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945. Karena begitu menyatunya dengan angka 17 ini
pada dirinya maka sebagaian besar kehidupannya dipengaruhi oleh angka
17, berikut beberapa contohnya.
1. Pelaksanaan sumpah setia 142 suku di pedalaman Kalimantan yang ia
wakili kepada pemerintah Republik Indonesia secara adat dihadapan
Presiden Soekarno di Gedung Agung, Yogyakarta 17 Desember 1946.
2. Desa Pahandut yang merupakan cikal bakal dari ibukota Kalimantan
Tengah, yaitu Palangka Raya. Merupakan desa yang ke-17 yang dihitung
dari sungai Kahayan.
3. Peletakkan batu pertama kota Palangka Raya yang melambangkan
perjuangan yang telah memberikan hasil kepada masyarakatnya, pada
tanggal 17 Juli 1957.
4. Ia menjadi gubernur yang pertama bagi provinsi yang ke-17, yaitu provinsi Kalimantan Tengah
5. Kelahiran provinsi Kalimantan Tengah tepat pada masa pemerintahan Republik Indonesia Kabinet yang ke-17.
Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1987, putra terbaik Dayak ini tutup
usia dalam usia 69 tahun di Rumah Sakit Suaka Insan, Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Begitu banyak jasa dan pengorbanan yang telah
dilakukan oleh seorang putra Dayak ini, bahaya pun selalu mengintai
keselamatannya. Namun berbekal keyakinan teguh serta semangat yang
membara akan cita-cita yang telah lama diimpikannya, ia pun melakukan
tugasnya tanpa kenal lelah apalagi kata menyerah dalam dirinya. Tidaklah
kecil jasa seorang Tjilik Riwut kepada bangsa Indonesia. Haruslah
generasi sekarang ini mengenang jasa-jasanya agar dapat memetik
keteladanan, kegigihan serta perjuangan hidupnya agar dapat dijadikan
panutan bagi kita.
Atas jasa-jasanya yang telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia serta
membangun provinsi Kalimantan Tengah maka, pada masa pemerintahan
presiden B.J. Habibie, ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional
Indonesia. untuk mengingat jasa seorang Tjilik Riwut, putra Kasongan
sungai Katingan ini diabadikan pada berbagai tempat di Kalimantan
Tengah, diantaranya bandara Palangka Raya, jalan terpanjang di
Kalimantan yang menghubungkan kota Palangka Raya hingga daerah
Kotawaringin.
Panglima Batur
Panglima Batur kelahiran tahun 1852 silam di desa Buntok Baru Kecamatan
Teweh Tengah,Barito Utara meninggal di usia 53 atau pada tanggal 5
Oktober 1905 dan dimakamkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Dalam buku itu diceritakan sejarah tentang terbunuhnya Panglima Batur
dengan cara diduga digantung oleh Belanda tahun 1905 di Banjarmasin,
Kalimantan Selatan.
Seorang tentara Belanda yang menghukum gantung pejuang rakyat pedalaman
Barito ini juga merupakan pelaku yang mengeksekusi pejuang rakyat Aceh
yang juga pahlawan Nasional bernama Teuku Umar.
Pejuang di Daerah Aliran Sungai Barito itu merupakan tangan kanan Sultan
Muhammad Seman (anak Pangeran Antasari) ini bersama pasukannya hanya
dilengkapi alat sederhana melawan Belanda yang menggunakan persenjataan
lengkap.
Kawasan yang menjadi tempat pertempuran itu berada di sekitar Desa
Buntok Baru, Butong, Lete, Mantehep (dekat Muara Teweh) bahkan sampai ke
wilayah Manawing dan Beras Kuning wilayah hulu Barito.
Pejuangan Barito dari rakyat biasa ini ditangkap Belanda di Muara Teweh
pada 24 Agustus 1905 dan dibawa ke Banjarmasin kemudian dihukum gantung
dengan tuduhan makar, namun saat mau dieksekusi ditiang gantung salah
satu alatnya tidak berfungsi dan saat itu rencana hukum gantung ditunda.
Setelah tertunda sepekan, pejuang yang dicari-cari Belanda dengan hadiah
1.000 gulden apabila tertangkap itu kembali akan dihukum gantung, namun
saat itu Belanda terkejut karena Panglima Batur sudah meninggal dunia.
Jasad pejuang itu tetap dibawa ke tiang gantungan untuk diperlihatkan
kepada masyarakat bahwa Panglima Batur benar-benar dihukum gantung dan
jenazahnya dikubur di Kuin Banjarmasin, selanjutnya pada tanggal 21
April 1958 makamnya dipindahkan ke Komplek Makam Pahlawan Perang Banjar,
Banjarmasin
Pangeran.M.Noor
Pangeran.M.Noor dilahirkan 24 Juni 1901 di Martapura, Kalimantan Selatan
dari keluarga bangsawan Banjar. Setelah lulus HIS (1917) ia belajar di
MULO (1921), ke HBS (1923), kemudian masuk sekolah teknik tinggi di
Bandung dan berhasil meraih gelar Insinyur pada tahun 1927, setahun
setelah Ir. Soekarno (presiden RI pertama). , Pada tahun 1935-1939
beliau menggantikan ayahnya Pangeran Muhammad Ali sebagai wakil
Kalimantan dalam Volksraad di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Tahun 1939, beliau digantikan Mr. Tadjudin Noor.
Setelah Indonesia merdeka beliau diangkat sebagai Gubernur Kalimantan
yang pertama. Dalam aksi gerilya bersenjata ia mendirikan pasukan
M.N.1001 yang beroperasi di Kalimantan Selatan pada tahun 1945 – 194.
Sebagai seorang ilmuan beliau diangkat menjadi Menteri Pekerjaan Umum
(1956-1957) pada Kabinet Ali Sastromijoyo. Ketika itulah membuat gagasan
‘Proyek Sungai Barito’ yang berhasil merealisasikan pembangunan PLTA
Riam Kanan dan pengerukan ambang Barito, sekarang PLTA itu diabadikan
memakai nama beliau menjadi PLTA P.M.Noor.
Menjelang akhir hayatnya beliau terbaring lemah di RS. Pelni Jakarta,
tetapi semangat beliau untuk membicarakan pembangunan di Kalimantan
Selatan tak pernah surut. Setiap ada tamu yang berkunjung beliau masih
saja bertukar pikiran mengenai pembangunan di banua. Bagi beliau
pembangunan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah identik
dengan kehidupannya. Ia akan berhenti berpikir dan berbicara akan hal
itu (pembangunan) bilamana otak dan nafasnya sudah berhenti. Saat
hari-hari akhir masa hidupnya dengan kondisi tubuh yang sudah mulai
menurun, PM Noor berkata, “Teruskan . . . Gawi kita balum tuntung“
Akhirnya, dengan ketetapan Allah Yang Maha Kuasa, Mohamad Noor,
dipanggil-Nya dalam usia 78 tahun pada 15 Januari 1979. Dimakamkan
disamping istri tercinta ibunda Gusti Aminah yang sudah mendahuluinya di
TPU Karet Jakarta.
Selain diabadikan sebagai nama waduk, jalan menuju bendungan tersebut juga dinamakan Jalan Ir. Pangeran M. Noor.
.
.
Kiai Haji Idham Chalid
Banjarmasin - Sejumlah tokoh dan keluarga besar asal Kabupaten Hulu
Sungai Utara, Kalimantan Selatan, kini menyiapkan tim untuk
memperjuangkan gelar Pahlawan Nasional bagi almarhum Kiai Haji Idham
Chalid yang wafat di Jakarta, sepekan lalu.
"Tim itu nanti yang menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
perjuangan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional tersebut, termasuk
melakukan komunikasi dengan berbagai pihak," kata Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kalimantan Selatan (Kalsel) H. Ahmad Makkie, di
Banjarmasin, Sabtu kemarin.
Usai tahlilan memperingati wafatnya KH Idham Chalid, dia mengatakan
pembentukan tim dan gagasan memperjuangkan gelar Pahlawan Nasional itu
menindaklanjuti aspirasi yang tumbuh dan berkembangan di masyarakat,
khususnya warga Kalsel.
Menurut mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia
asal Daerah Pemilihan Kalsel itu, tidak berkelebihan atau wajar-wajar
saja kalau masyarakat di provinsinya menginginkan/memperjuangkan agar
tokoh urang Banjar yang menasional tersebut mendapat gelar Pahlawan
Nasional.
Mantan Bupati Tapin dua periode itu mengemukakan, jasa-jasa almarhum
tidak saja bagi daerah Kalsel atau Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU)
khususnya, tetapi lebih luas lagi, yaitu bagi negara dan bangsa
Indonesia.
"Oleh karena itu, agar tidak kedahuluan orang lain, kami harus segera
bersikap untuk memperjuangkan gelar Pahlawan Nasional tersebut, dan
sebagai langkah awalnya membentuk tim," demikian Makkie.
Mantan Gubernur Kalsel 1985-1995, H.M. Said menyambut positif atas
gagasan memperjuangkan gelar Pahlawan Nasional terhadap almarhum Idham
Chalid. Bahkan, perjuangan tersebut perlu diambil alih pemerintah
provinsi bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.
"Akan lebih baik diambil alih atau dilakukan Pemprov bersama DPRD
Provinsi Kalsel," kata mantan anggota DPD RI asal dari provinsi tersebut
menyarankan.
Mengenai data pendukung untuk memperjuangkan gelar Pahlawan Nasional,
menurut peraih Pena Emas Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu, hal
tersebut mungkin tidak terlalu sulit sebab sudah ada buku sejarah
almarhum.
Begitu pula, dalam buku yang dibuat almarhum Brigjen H. Hasan Basri yang
mendapat julukan Bapak Geriliya Kalimantan itu menerangkan bahwa
almarhum Idham Chalid juga seorang tokoh pejuang angkatan 45 dalam
menegakkan kemerdekaan serta mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
"Dalam buku almarhum Hasan Basri tersebut diterangkan, Idham Chalid juga
punya peran dalam mencegah berpisahnya Kalimantan dari NKRI, yang
ketika itu digembar-gemburkan Dewan Banjar," ungkapnya.
"Bahkan, ketika itu (1948) Kalimantan mau menjadi negara sendiri dengan
presidennya Sultan Hamid. Tapi, karena perjuangan Hasan Basri bersama
kawan-kawan, termasuk almarhum Idham Chalid, Negara Kalimantan tidak
pernah ada dan tetap dalam NKRI," demikian M. Said.
Pendapat dan dukungan senada dari H. Syafriansyah, mantan anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dia menambahkan, ketokohan almarhum Idham Chalid bukan cuma menasional, melainkan juga internasional.
"Ketokohan Idham Chalid yang juga menginternasional itu, saya baca dalam
bukunya Roeslan Abdul Gani, seorang politikus nasional yang cukup
terkenal, baik pada masa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto,"
demikian Syafriansyah.
Tim persiapan perjuangan untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional bagi
almarhum Idham Chalid tersebut, antara lain H. Abdul Latif Hanafiah,
anggota DPRD Kalsel, H. Kamarul Hidayat dari Banjar TN, dan Aliansyah
dari Tabloid Serambi Ummah Banjarmasin Post Group.
Sumber : http://rachmatsolleh.mywapblog.com/nama-nama-pahlawan-dari-kalimantan.xhtml